Belanda yang ketika itu masih menguasai Indonesia yang bernama Hindia Belanda, ketika pada tahun 1910-1030 terjadi wabah Pess di beberapa wilayah di Hindia Belanda yang di awali di Malang, yang juga akhirnya mewabah di Batavia, melakukan penelitian penyebab wabah Pess tersebut, dan akhirnya penyebabnya adalah salah satunya berasal dari atap rumbia yang menjadi sarang tikus. Akhirnya Pemerintah Belanda di Hindia Belanda menginstruksikan untuk mengganti semua atap rumbia dengan genteng pada semua bangunan pemerintahan dan bangunan perumahan pegawai negara. Dan juga tolong di ingat, pada saat itu sentra pembuatan genteng bukan hanya ada di Jatiwangi. Tetapi sudah ada di beberapa wilayah di Indonesia. Jatiwangi adalah salah satunya.
Jadi apabila menggunakan kata 'Industri', sudah terjadi pada tahun itu di Jatiwangi. 'Industri' Genteng dan Bata di Jatiwangi akhirnya menjadi sebuah pola ekonomi kerakyatan yang benar-benar muncul dari rakyat. Bukan dari sebuah Program Pemerintah Belanda.
Puncak dari industri Genteng Jatiwangi sendiri terjadi di periode 80-an sampai akhir 90-an. Bukan hanya Bandara Internasional Soekarno Hatta yang menjadi gerbang masuk ke Indonesia yang atapnya menggunakan genteng Jatiwangi. Tetapi juga Genteng buatan Jatiwangi berperan besar dalam pembangunan wilayah di Putrajaya, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Menjelang akhir tahun 1990-an, tepatnya pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi dan juga ditandai dengan jatuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Ekonomi dunia runtuh. Begitupun ekonomi indonesia yang pada awal 90-an sempat mendapat julukan Macan Asia. Industri genteng Jatiwangi pun terkena imbasnya. Sedikit demi sedikit dan perlahan beberapa pabrik tradisional genteng di Jatiwangi yang disebut dengan Jebor, tutup. Tapi masih banyak juga dari pemilik Jebor yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap bertahan.
Pada tahun 2005 ketika warga Jatiwangi mungkin kebingunan dan marah atas runtuhnya industri genteng mereka, Salah dua warga Jatiwangi. Tepatnya di Desa Jatisura. Ginggi Syarief Hasim dan Arief Yudi Rahman mendirikan Jatiwangi Art Factory. Ada alasan yang sangat sederhana dari keduanya ketika memutuskan mendirikan JAF. Ginggi beralasan bahwa pada saat itu yang dibutuhkan oleh warga Jatiwangi adalah menjadi warga yang kreatif. Karena pada saat industri genteng Jatiwangi belum mengalami kemunduran dari 90 Ribu jumlah penduduk Jatiwangi itu bekerja. Menjadi Pemilik Pabrik Genteng atau menjadi buruh pabrik genteng. Menurut Ginggi, pada saat itu tidak ada pada siang hari warga Jatiwangi yang berleha-leha, nongkrong, dan lainnya. Tidak ada yang lebih penting di hidupnya warga Jatiwangi selain bekerja.
Sedangkan alasan dari Arief Yudi Rahman adalah, ingin membuat ruang baru dalam seni rupa. Akhirnya Arief Yudi bereksperimen di Jatiwangi. Menurut Arief, itu disengaja dengan membuat ruang di wilayah yang memang sama sekali tidak ada latar belakang seni nya. Sehingga muncul pola komunikasi dan pemahaman baru yang akan menjadi sebuah bentuk. Saat itu percobaan pertamanya adalah dengan membuat Jatiwangi Art Festival setiap dua tahun sampai tahun 2012.
Periode pertama tersebut kemudian berlanjut pada periode kedua pada tahun yang belasan. Pada periode kedua ini JAF bukan lagi membutuhkan bentuk. Tetapi membutuhkan penegasan. Penegasan yang dimaksud adalah dalam bentuk program. Itu dimulai pada tahun 2012 ketika Tanah sebagai Gagasan, Bahan, dan Lahan semakin ditegaskan oleh JAF dengan membuat Ceramic Musik Festival dengan Rampak Genteng yang menjadi penanda bahwa Tanah bukan lagi hanya menjadi sebuah komoditas. Dan sebagai penegasan sekaligus perayaan bagi pabrik-pabrik genteng di Jatiwangi yang masih memilih untuk bertahan.
"Itu adalah sebuah penegasan dari kita warga Jatiwangi. Bahwa bagaimanapun Jatiwangi secara wilayah dan orang-orangnya adalah pengolah tanah yang baik dan kuat." Ucap Arief.
Lalu pada periode kedua tersebut juga Ginggi Syarief Hasim diminta oleh warga Desa Jatisura. Kecamatan Jatiwangi untuk menjadi Kuwu. Kalau bicara sebagai ruang, ini menjadi salah satu faktor pendukung ketika JAF berusaha dan sudah menemukan bentuknya pada periode awal kemudian memperlebar ruangnya pada periode kedua dengan ruang secara lingkup Desa. Diluar dari segala hambatan dan permasalahannya. Ruang aktualisasi yang semakin melebar ini bukanlah Sistem Kebut Semalam. Dengan pengkondisian sebelumnya membuat festival Performance Art dan mengajak desa-desa di Kecamatan Jatiwangi untuk menjadi tuan rumah untuk ditinggali oleh para seniman yang terlibat, lalu dengan adanya Rampak Genteng sampai Jebor Cup [Binaraga Antar Jebor] tentu dengan hadirnya Ginggi menjadi seorang Kuwu/Kepala Desa sedikit mempermudah memperkuat kebanggan Tanah sebagai Gagasan, Bahan, dan Lahan di Jatiwangi. Dan menjadi arena latihan lainnya tentang bagaimana memahami pola komunikasi politik yang biasanya terjadi antara rakyat dan penguasa.
Sama seperti pada periode pertama yang sudah tercapai. Periode Kedua pun sudah tercapai. Pada Periode ketiga yang dimulai pada tahun 2015, ruang yang dimaksud oleh JAF semakin dilebarkan menjadi sebuah wilayah Kecamatan yaitu, Jatiwangi. Dengan agenda besarnya adalah Jatiwangi Menuju Kota Terakota. Pada tahun 2016 dicoba dengan dijadikannya JAF sebagai salah satu tempat residensi kegiatan Indonesia Contemporary Ceramic Biennale #4. Para seniman yang terlibat berproses di Jatiwangi.
Lalu pada lanjutan ICCB #5, Jatiwangi secara menyeluruh dijadikan sebagai arena para seniman yang dilibatkan pada ICCB #5. Sebenarnya konsep Jatiwangi Kota Terakota sudah ada dari tahun 2012. ICBB #5 menjadi salah satu tools yang digunakan oleh JAF dan Warga Jatiwangi secara bersama untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada di Jatiwangi dengan secara perlahan banyaknya pabrik genteng yang tutup dan banyak lahan yang beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik manufaktur di Jatiwangi dan sekitarnya. Pada periode ini hadir dengan yang disebut oleh JAF adalah penambahan menu tanah yaitu, Diversifikasi Produk. Melalui Biennale Keramik tersebut JAF mengundang para ahli seperti arsitek, seniman, desainer, mahasiswa, ekonom, budayawan dan banyak lagi untuk mendukung Jatiwangi Kota Terakota.
Kalau menurut Ginggi ini mengingatkan seperti apa yang terjadi pada periode awal Jatiwangi tahun 1905.
"Ini seperti mengulang apa yang terjadi pada tahun 1905. Ketika mengundang ahli untuk membuat genteng. Juga para ahli lainnya untuk mendukung Industri Genteng Jatiwangi."
Hasil dari ICCB #5 tersebut adalah berdirinya bangunan Museum Wakare di Desa Wates. Kecamatan Jatisura. Tugu Pagoda di Pabrik Genteng Super Fajar di Desa Burujul Wetan, Diversifikasi produk yang dibuat seperti ubin dan bata di Desa Andir Desa Burujul Wetan, dan Desa Wates, Roaster di Desa Ciborelang, dan Souvenir yang dibuat di Studio Keramik JAF di Desa Jatisura. Kecamatan Jatiwangi. Kabupaten Majalengka.
" Setelah hadirnya Bandara Kertajati. Baru disadari bahwa semua pembangunan itu berasal dari luar. Lalu menjadi masuk akal apabila kita mendirikan sebuah kota atau wilayah yang semuanya berasal dari keinginan warganya sendiri. Kita mempunyai Sumber Daya Alamnya dan kita juga memiliki Sumber Daya Manusianya." Ucap Arief Yudi.
Dan apabila ini di klaim menjadi sebuah katakanlah Program Pemerintah manapun dan apapun di Indonesia, mendirikan kota yang berasal dari keinginan warganya dapat dijadikan daya tawar oleh Pemerintah manapun. Alias menjadi alat politik. Dan sebenarnya tidak masalah dengan hal tersebut. Karena toh ini berasal dari keinginan warga. Kebijakan dari bawah ke atas bukan lagi sebuah hal yang utopis, tambah Arief.
Dengan kesadaran penuh, Pemerintah Kabupaten Majalengka pun dengan semangat mewujudkan Jatiwangi Kota Terakota. Bahkan bukan hanya lingkup Jatiwangi. Tetapi lingkup lebih besar yaitu skala Kabupaten. Karena memang dari segala Sumber daya nya sangat mendukung.
Beberapa produk politik yang sudah dibuatnya antara lain, Renovasi Alun-Alun Majalengka yang berubah desain menjadi terakota dimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menjadi Pemain Utamanya. Yang kemudian dilanjutkan dengan surat edaran Pemerintah Kabupaten Majalengka terkait penggunaan genteng yang wajib berasal dari Jatiwangi dan wilayah pembuat genteng di Kabupaten Majalengka pada seluruh bangunan dinas dan atap bangunan lainnya lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan aturan 30% tampak terakota pada pagar-pagar bangunan Dinas Pemerintah Kabupaten Majalengka, dan berikutnya adalah sudah dimasukannya menjadi aturan Konsep Terakota pada aturan Tata Ruang Kabupaten Majalengka dalam bentuk RDTR maupun RTRW. Kemudian yang akan segera dilakukan adalah renovasi Alun-Alun Jatiwangi. Ya. Memang membutuhkan biaya. Ini adalah konsekuensi dari digunakannya mata uang sebagai alat tukar. Jadi tidak usah aneh dan heran.
Lalu keuntungan apa yang didapatkan oleh warga Majalengka? Seharusnya dapat dilihat keuntungan tersebut dari kata Diversifikasi. Seperti yang sudah terjadi di Desa Burujul Wetan, Desa Ciborelang,Desa Wates, Desa Andir dan Desa Jatisura yang hari ini sedang mencoba membuat diversifikasi tersebut. Konsep Kota Terakota jangan dilihat hanya dari bentuk bangunan yang menggunakan bata ataupun genteng, atau mungkin juga banyak yang tidak mengetahuinya? atau tidak mengetahui kandungan tanah yang dijadikan sebagai bahan bata, genteng, keramik dan produk diversifikasi lainnya di Majalengka?
Dalam istilah sunda ada sebutan Tanah Beureum dan Tanah bodas. Sebutan mudahnya adalah Tanah Beureum yang dibakar itu adalah Terakota. Sedangkan Tanah Bodas yang dibakar namanya Porselen. Kemudian ada sebutan Stoneware dan Earthenware. Tanah Beureum/Earthenware adalah tanah yang dibakar dengan temperatur bakaran rendah [900 derajat -1100 derajat celcius]. Stoneware/Tanah Bodas adalah tanah yang dibakar dengan temperatur bakaran tinggi [1250 derajat celcius-1350 derajat celcius].
Kebudayan mengolah tanah menjadi bata di Majalengka tersebar dari mulai Cikijing sampai Pangkalanpari. Juga kebudayaan mengolah tanah menjadi genteng bukan hanya ada di Jatiwangi. Tetapi tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Majalengka seperti di Kasokandel, Dawuan, Sukahaji, Ligung, Sumberjaya, Jatitujuh. Jadi seluruh wilayah di Majalengka secara Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusianya sangat mendukung untuk menjadikan Majalengka sebagai Kota Terakota. Perubahan istilah Jatiwangi Kota Terakota menjadi Majalengka Kota Terakota mungkin saat ini sedang ramai dibicarakan oleh warga Kabupaten majalengka terutama yang berusaha untuk protes mengenai penamaan Majalengka Kota Terakota dengan alasan APA KEUNTUNGAN UNTUK WARGA MAJALENGKA. Keuntungan yang didapat adalah Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusianya itu berlimpah. Maka kalimat Nikmat mana lagi yang engkau dustakan itu cocok bagi mereka yang secara sengaja membuat dirinya tidak mengingat nikmat dan anugerah yang diberikan untuk Tanah Majalengka. Dari Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia tersebut seharusnya menjadikan kebangkitan kedua Terakota di Majalengka. Seperti halnya ketika 1905 dimulainya kebudayaan mengolah tanah menjadi genteng di Jatiwangi dan Bata di Kabupaten Majalengka. Dan tentu akan terbentuk kembali pola ekonomi kerakyatan yang sempat runtuh di Majalengka. Tapi tentunya dengan pola yang berbeda yang saling menguatkan di setiap simpul masyarakatnya.
Konsep Kota Terakota ini pun meliputi aspek pendidikan, kesehatan, sosial, politik, ekonomi, juga tentang bagaimana membuat pola ketahanan pangan. Seperti yang sedang berjalan kerjasama membangun sekolahan antara Pemerintah Korea dan Pemerintah Kabupaten Majalengka. Kerjasama tersebut mungkin dapat dikatakan atas hasil dari Simposium ICCB #5. Dan tolong jangan ini jangan dilihat menjadi siapa yang. paling berjasa. Bukan. Bukan itu. Tapi tolong dilihat ini menjadi sebuah alur pertukaran pengetahuan.
Lalu kenapa proses membangun wilayah sendiri yang berasal dari impian sendiri ini tidak dilihat sangat menyenangkan ketika terjadi berbagai pertukaran pengetahuan?
Betul apabila saat ini masih belum terlihat seperti apa bentuk besarnya. Tetapi setidaknya itu sudah terjadi dalam bentuk kecil yang terjadi di beberapa desa yang sudah disebutkan diatas. Jadi kenapa dari Jatiwangi Kota Terakota menjadi Majalengka Kota Terakota itu adalah, karena terjadinya proses penyadaran holistik di dalam diri Warga dan Penguasa. Bagi warga ini adalah sebuah kesempatan untuk membangun wilayahnya berdasarkan keinginannya sendiri. Bagi Penguasa ini juga dapat dijadikan alat politiknya untuk mendapatkan suara rakyat. Keinginan warga di dukung oleh Kebijakan Pemerintahnya.
Komentar
Posting Komentar